PEDIH

"Bagaimana tanggapan teman-teman tentang mahasiswa yang kuliah di ITB (Institut Teknologi Bandung) dan memiliki IPK (Indeks Penilaian Komulatif) yang sangat tinggi, mencapai 3,94?"

"Tentu mengesankan bukan?" Sekarang ke pertanyaan selanjutnya, "Lantas mengapa Zahran peserta COC Ruang Guru mendapatkan banyak hujatan mengenai fisiknya?"

Kalau kita mau menggunakan bahasa yang umum digunakan saat ini, menghina atau mengejek fisik seseorang disebut Body Shaming. Saya mau menduga-duga dan menghubungkan beberapa hal mengenai ketertarikan sebagian masyarakat kita melakukan body shaming. Ntah, mengapa menghina fisik sesorang menjadi hal yang menyenangkan bahkan perlu untuk dilakukan oleh masyarakat kita.

Mari kita tengok kejadian beberapa waktu lalu yang dialami Gus Ulil Ketua PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) pada saat ia menghadiri acara Talkshow Rosiana Silalahi di salah satu stasiun televisi swasta. Saat itu Gus Ulil sapaan akrabnya menyampaikan dalam acara tersebut bahwa menambang nikel diperbolehkan. Di lain sisi ada Iqbal Damanik dari Greenpeace yang mengatakan bahwa penambangan nikel akan terus memperparah kondisi alam kita.

Bukan tanpa alasan bahwa penambangan nikel dalam prakteknya banyak menebang pohon-pohon rindang secara luas dan terus mengeruk bumi semakin dalam. Dampaknya bumi semakin panas dan ada banyak hewan-hewan yang terusir dari habitatnya. Iqbal menilai, jika negeri ini tidak segera menghentikan proses penambangan dan beralih dari energi fosil menjadi energi terbarukan yang lebih ramah pada lingkungan, maka masyarakat secara luas akan mendapatkan kerugian yang besar dari rusaknya bumi karena proses penambangan yang tidak tepat.

Dalam acara tersebut memang terlihat mereka berdua hadir untuk berselisih pendapat. Greenpeace unggul karena mereka mengatakan sudah melakukan riset yang mengatakan bahwa, apabila Indonesia beralih dari energi fosil ke energi terbarukan, maka Indonesia akan memperoleh keuntungan yang besar. Gus Ulil nampaknya hadir hanya dengan argumentasi yang terbilang dangkal dan terlihat hanya mendukung penuh pemerintahan yang masih akan mempertahankan proses penambangan. Pada akhirnya Gus Ulil melakukan kesalahan dengan mengatakan wahabi lingkungan.

Saya rasa jelas ini adalah cara melarikan diri Gus Ulil. Ia menyebut wahabi lingkungan di saat diskusi didominasi oleh Iqbal. Maka, ketika Gus Ulil merasa tersudut ia mengeluarkan jurus terakhir dengan mengatakan wahabi lingkungan. Saya sendiri menyayangkan pernyataan Gus Ulil karena sebagai ketua ormas islam ia tidak mengeluarkan dalil yang jelas mengenai pertambangan yang ia dukung. Apa memang tidak ada, ya?

Banyak respon kekecewaan terhadap Gus Ulil di media sosial, akan tetapi saya mengerutkan dahi dan merasa gamang terhadap kometar netijen Kepada Gus Ulil. Kekecewaan netijen atas pernyataan Gus Ulil menyasar pada kekurangan fisiknya. Netijen body shaming kepada Gus Ulil.

Mari kita sadari bahwa Allah SWT tidak menyukai manusia yang body shaming kepada sesamanya. Silakan lihat QS. Al-Hujurat 49:11, kata Allah bisa jadi yang kita olok-olok itu lebih baik dari padadiri kita sendiri. Body shaming dipercaya juga akan memberikan beban mental dan memengaruhi psikis korban menjadi buruk. Siapa yang mau dihinakan karena keterbatasan fisiknya?

Melihat Zahran dan Gus Ulil, mari kita jujur kepada diri kita sendiri. Seberapa baik kita jika dibandingkan dengan mereka? Yang satu mahasiswa ITB dengan IPK 3,94 dan yang satu merupakan ketua ormas islam besar di negeri ini. Siapa yang berani jamin dirinya lebih baik dari mereka? kalau saya sadar diri akan kemampuan dan pengetahuan saya. Saya kuliah dengan IPK 3,20 dan saya belum pernah dipercayai menjadi ketua apapun apalagi ormas besar.

Kenapa masih banyak dari kita belum mampu untuk melihat kelebihan orang lain di luar fisiknya?

Seperti halnya Zahran dan Gus Ulil, terlepas dari keterbatasan fisiknya yang merupakan pemberian dari Allah SWT, mereka memiliki prestasi atau kelebihan yang luar biasa. Sayangnya, banyak masyarakat kita belum mampu melihat hal tersebut secara nyata. Mereka amat mudah dialihkan oleh keterbatasan fisik yang rasanya tidak terlalu penting.

Menjadi hal yang dapat dipercayai jika, situs World Population Review menyebutkan rata-rata IQ masyarakat kita adalah 78,49 periode 2024 lalu. Rasa-rasanya orang dengan IQ tinggi tidak akan mudah teralihkan oleh kekurangan pada fisik orang lain. Mereka akan dengan peka menyadari kelebihan orang lain dan terpacu untuk sama atau bahkan melebihi kelebihan orang-orang tersebut. Itu menjadi tanda bahwa seseorang terbiasa dan mampu berpikir.

Akan menjadi kurang adil apabila kita memiliki data akan tetapi tidak mengupayakan menguak perbaikan. Data rata-rata IQ kita memang menyedihkan. Akan tetapi bukan berarti kedepannya kita hanya akan terpuruk dengan data tersebut. Pasti akan selalu ada cara untuk memperbaiki segala sesuatu yang salah. Walaupun, dengan cara yang rumit dan membutuhkan usaha yang sangat keras.

Bagaimana tidak sulit dan membutuhkan usaha yang keras? IQ terbentuk melalui proses yang panjang. Mulai dari ibu sebelum hamil sampai usaha manusianya sendiri yang harus dibentuk dari kecil hingga dewasa. Ini semua mengenai asupan baik makanan maupun pengetahuan. Hal yang pemerintah telah lakukan adalah pencegahan stunting, yang mana anak stunting akan memiliki IQ yang tidak bagus. Makan bergizi gratis, wajib sekolah 12 tahun, dan upaya-upaya lainnya. Apakah itu semua akan mampu mengubah nilai rata-rata IQ masyarakat kita kelak? Semoga saja.

Upaya ini tidak bisa hanya pemerintah saja yang bergerak. Para orang tua, keluarga, lingkungan tempat tinggal dan lingkungan pendidikan juga harus ambil peran aktif untuk menciptakan manusia dengan IQ di atas rata-rata.

Saya rasa seorang suami atau bapak dari seorang anak harus memiliki kemampuan untuk tidak terlibat judol. Bagi yang sudah terlanjur kecemplung judol harus punya kemampuan bertaubat. Seorang istri atau ibu harus mengurangi konsumsi smartphone baik drakor ataupun sosial media. Orang tua, ayah dan ibu, harus mampu menciptakan lingkungan rumah yang edukatif sekaligus menyenangkan untuk anak-anak. Hal ini menjadi sangat krusial meciptakan anak dengan IQ di atas rata-rata, menurut saya. Makanan yang tersedia mulai dari sarapan sampai makan malam harus memiliki gizi yang seimbang. Ayah harus memiliki kemampuan menghadirkan bahan-bahan makanan berkualitas dan ibu harus memiliki kemampuan mengolah serta memasak bahan-bahan tadi menjadi makanan lezat dan bergizi.

Apabila ayah terlibat judol, hilang sudah kemampuan menghadirkan bahan-bahan makanan yang berkualitas. Ibu yang lupa diri dengan smartphonenya tidak akan memiliki pengetahuan dan kemampuan memasak yang mumpuni. Kasian anak-anak jadi korban kemarahan ayah bokek dan kurus kering karena ibunya gak bisa masak.

Itu baru makanan, masih ada pendidikan. Pendidikan kita saat ini menyulitkan guru-guru, kurikulum yang selalu berubah setiap pejabatnya ganti, dan urusan gaji honorer yang masih belum teratasi. Hal ini menjadi godaan yang sulit di atasi guru-guru untuk konsisten menjadi guru yang berkualitas. Guru akhirnya ingin jadi selebgram. Anak-anak didik, dididik untuk bisa velocity dan Bu Guru Salsa bikin video tidak senonoh. Dapat kita lihat eksistensi menjadi guru yang berkualitas tidak mendatangkan kesejahteraan. Sebaliknya, Bu Guru Salsa udah jadi penyanyi dadakan buah dari videonya.

Semua orang digenggam smartphone. Sulit sekali lepas dari genggamannya; orang dewasa, remaja, anak-anak, dan bahkan balita akan marah kalau smartphonenya diambil. Biarkan anak-anak dan balita marah bahkan menangis, berikan mereka pengertian yang lembut bahwa ada banyak hal yang lebih baik dan menyenangkan dari sekedar smartphone. Saya merasa smartphone juga memengaruhi gagalnya tercipta IQ masyarakat yang bagus.

Kita harus sejahtera untuk menciptakan generasi berkualitas, generasi yang bisa melihat kelebihan orang di luar fisiknya. Generasi yang saling memuji dan menghargai. Generasi emas yang dapat membawa negeri semakin maju dan memiliki derajat sosial yang tinggi. Tidak mudah, hanya saja pasti bisa. 

Comments

Popular posts from this blog

KECEWA

Tulisan Pertama

Tulisan Keempat